Kamis, 23 Juni 2011

Aurat

Aurat adalah bagian tubuh yang wajib ditutup dan diharamkan untuk melihatnya. Dalam hukum fikih aurat laki-laki antara pusar dan lutut, sedangkan aurat bagi perempuan, adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Menutup aurat adalah cabang dari iman. Yang tidak punya iman berarti tidak punya malu. Jelasnya, malu termasuk cabang dari iman. Iman amat berkaitan dengan malu. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits : “Bila malu hilang, hilanglah keimanan kita, jika iman hilang malu pun ikut terbuang.” Saat Nabi Allah Adam dan istrinya Siti Hawa turun ke bumi, keduanya dalam kondisi tak sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka. Menyadari akan hal itu Adam dan Hawa segera mencari dedaunan dan kulit pohon untuk dijadikan pakaian yang menutupi aurat mereka. Padahal pada saat itu tidak ada seorang pun yang melihat, kecuali mereka berdua, padahal mereka adalah pasangan suami istri. Tapi mereka berusaha menutupi aurat mereka masing-masing, itu karena perasaan malu yang ada pada mereka. Ada cerita Ratu Balqis, seorang penguasa Negeri Saba’ di Yaman ketika berkunjung ke istana Nabi Allah Sulaiman. Ratu Balqis tercengang melihat kemewahan dan keindahan istana, saking kagumnya Ratu Balqis menarik abayanya karena ia mengira lantai istana digenangi air. Padahal itu semua karena kecanggihan istana Nabi Allah Sulaiman. Abayanya terangkat dan betisnya pun terlihat. Walaupun kejadian itu hanya sekejap, namun cukup membuat Ratu Balqis malu besar, mukanya merah padam karena menahan malu dan iapun segera menutup betisnya. Dalam sebuah riwayat, pernah Siti Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, betulkah nanti pada hari kiamat kelak, para kaum perempuan dikumpulkan bersama kaum lelaki dan kesemuanya dalam keadaan tanpa busana?” Rasulullah SAW pun menjawab: “Apa yang engkau katakan benar wahai Aisyah.” Mendengar yang demikian itu, Sayyidah Aisyah menangis sejadi-jadinya dan berkata: “Alangkah malunya, alangkah malunya, ya Rasulullah.” Namun beliau kemudian menjelaskan: “Wahai Aisyah, di akhirat nanti manusia sibuk dengan dirinya masing-masing sehingga tidak ada waktu dan kesempatan untuk memperhatikan aurat orang lain.” Hadits ini adalah sebagai gambaran bagaimana perasaan seorang wanita yang kuat imannya dan memiliki rasa malu yang dalam. Cerita tentang aurat ini tentu sebagian dari kita kadang bertanya-tanya, kenapa Rasulullah SAW lahir dalam keadaan sudah berkhitan? Kalau kita sering membaca kitab maulid tentu kita akan mendapatkan jawabannya. Rasulullah SAW lahir dalam keadaan berkhitan, karena Allah SWT menjaga aurat Rasulullah SAW dari pandangan orang lain. Allah SWT tidak ingin aurat Rasulullah SAW dilihat oleh siapapun. Dan itu merupakan sebagian dari kemuliaan Allah SWT yang diberikan kepada beliau SAW. Jelasnya beliau SAW terpelihara dan terjaga dari keburukan, kejelekan, dosa dan kemaksiatan. Satu kali, ketika Rasulullah SAW masih kecil dan ikut memperbaiki Ka’bah bersama-sama para pemuka Kaum Quraisy Makkah. Beliau pun ikut bergotong-royong membenatu mengangkat sebuah batu yang cukup besar dan berat sehingga gamis beliau tersingkap. Tiba-tiba batu itu jatuh dan mengenai kakinya hingga beliau pingsan. Dengan jatuhnya batu tersebut, maka gamis beliau kembali menutup aurat beliau yang tersingkap itu. Itu memang kemauan Allah SWT, karena Allah SWT tidak ingin orang melihat aurat beliau SAW. Dahulu derajat malu, khususnya di kalangan wanita sangat tinggi. Saat itu sangat jarang kita dapatkan wanita keluar rumah tanpa disertai mahramnya. Jikalau keluar, auratnya selalu ditutup rapat-rapat dan selalu disertai mahram untuk menjaganya. Orang tua atau suami sangat cemburu bila aurat anaknya atau istrinya dilihat orang lain. Dahulu orang selalu menjaga kadar keimanan dan menempatkan kaum wanita pada posisinya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Islam. Makanya mereka selalu menjaga para anak keturunan dan memelihara auratnya serapi mungkin sejak kecil. Mereka berikan pakaian yang sesuai dengan standar syari’at, tidak diobral semaunya, apalagi dipamerkan di hadapan khalayak ramai. Karena aurat wanita sangat sensitif dan bisa mengundang orang berbuat dosa, berbeda dengan pria. Berbeda dengan zaman sekarang, aurat, maksiat, kerusakan sudah menjadi lumrah dan sulit dibendung. Benar apa yang dikatakan Ahmad Syauqi: “Kuat dan kokohnya satu bangsa terletak pada moral rakyatnya. Apabila moralnya rusak, maka bangsa tersebut ikut bejat.” Adapun salah satu penyebab kehancuran moral dan akhlak karena pengaruh pornografi. Jadi sangatlah wajar sekali jika dilakukan pelarangan terhadap beberapa media yang di dalamnya terdapat unsur pornografi. Seperti majalah Playboy dan majalah-majalah lainnya di Indonesia yang masih menyajikan hal-hal yang berbau pornografi. Sudah barang tentu ada beberapa cara yang digunakan untuk menyelamatkan moral dan akhlak bangsa sesuai dengan yang telah dianjurkan Rasulullah SAW dan hal itu dikaitkan dengan keimanan kita. Pertama, mereka yang mampu berdakwah dengan kekuatan, maka rubahlah dengan tangannya jika melihat kemungkaran dan kemaksiatan. Kedua, mereka yang mampu berdakwah dengan lisannya. Dan yang ketiga, hanya mampu menjauhi dan membenci di dalam hati tanpa berbuat apa-apa dan itu dikatakan sebagai selemah-lemahnya iman. Memang ada hadits yang mengatakan: “Katakanlah yang benar walaupun yang benar itu pahit.” Hadits ini jelas menyuruh kita untuk meluruskan, memperbaiki dan merubah apa-apa yang salah, namun bukanlah dengan kekerasan, bukan dengan emosi, bukan pula dengan caci-maki. Jadi cara menyampaikan kebenaran pun harus bijaksana dan dengan menggunakan bahasa yang sopan, lembut serta menyentuh. Pernah Khalifah Makmun, putera Khalifah Harun Ar-Rasyid dikritik, bahkan dikecam dengan pedas dan disertai caci-maki oleh sekelompok orang. Lalu beliau memerintahkan orang-orang yang mengkritiknya untuk membacakan Al-Qur’an dalam surat Thaha ayat: 43-44, dimana Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Allah Musa dan Nabi Allah Harun untuk mendatangi Fir’aun si penguasa yang lalim dan berbicara kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Makmun putera Harun Ar-Rasyid menegaskan bahwa dirinya adalah seorang muslim yang tidak bisa dibandingkan dengan Fir’aun yang kafir, musyrik, pembangkang bahkan mengaku Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar